Kamis, 26 September 2013

Bijih Mangan


Endapan bijih mangan dapat terbentuk dari beberapa cara yaitu proses hidrotermal yang dapat dijumpai dalam bentuk (vein), metamorfik dan cebakan sedimenter dan residual (Asril Riyanto., 1989). Bijih mangan utama adalah pirolusit (MnO2) dan psilomelan [(BaH2O)2.Mn5O10] yang mempunyai komposisi oksida dan terbentuk dalam cebakan sedimenter dan residu. Mangan mempunyai warna abu-abu besi dengan kilap metalik sampai submetalik. Mangan berkomposisi oksida lainnya namun berperan bukan sebagai mineral utama dalam cebakan bijih adalah bauxit, manganit (Mn2O3.H2O), hausmanit (Mn3O4), dan lithiofori, sedangkan yang berkomposisi karbonat adalah rhodokrosit (MnCO3), serta rhodonit yang berkomposisi silika.
Biji mangan (Mn) 95% dimanfaatkan untuk industri baja. Kegunaan mangan sangat luas, baik untuk tujuan metalurgi maupun non-metalurgi. Untuk tujuan non-metalurgi, mangan digunakan untuk produksi baterai, kimia, keramik dan gelas, glasir dan frit, pertanian, proses produksi uranium, dan lainnya. Di Indonesia, industri hilir pemakai mangan adalah industri baterai, keramik dan porselein, industri logam, dan industri korek api.  
Potensi bijih mangan di Indonesia terdapat di Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku. Papua, NTB dan NTT. Deposit bijih mangan yang ada di NTT, sebagian besar terdapat di pulau Timor (kawasan lempeng metalurgi) dan di pulau Flores khususnya di Kabupaten Manggarai.

Destruksi Sampel


Destruksi merupakan suatu perlakuan untuk melarutkan atau mengubah sampel menjadi bentuk materi yang dapat diukur sehingga kandungan berupa unsur-unsur didalamnya dapat dianalisis. Pada dasarnya ada dua jenis destruksi yang dikenal yaitu destruksi basah dan destruksi kering, yang masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. 
Metode Destruksi Basah
Destruksi basah adalah perombakan sampel dengan asam-asam kuat baik tunggal maupun campuran, kemudian dioksidasi dengan menggunakan zat oksidator. Pelarut-pelarut yang dapat digunakan untuk destruksi basah antara lain asam nitrat (HNO3), asam sulfat (H2SO4), asam perklorat (HClO4) dan asam klorida (HCl). Kesempurnaan destruksi ditandai dengan diperolehnya larutan jernih pada larutan destruksi, yang menunjukkan bahwa semua konstituen yang ada telah larut sempurna atau perombakan senyawa-senyawa organik telah berjalan dengan baik. Senyawa-senyawa garam yang terbentuk setelah destruksi merupakan senyawa garam yang stabil dan disimpan selama beberapa hari. Pada umumnya pelaksanaan kerja destruksi basah dilakukan secara metode Kjeldhal. Dalam usaha pengembangan metode telah dilakukan modifikasi dari peralatan yang digunakan (Raimon, 1993).
Metode Destruksi Kering
Destruksi kering merupakan perombakan organik logam di dalam sampel menjadi logam-logam anorganik dengan jalan pengabuan sampel dalam muffle furnace dan memerlukan suhu pemanasan tertentu. Pada umumnya dalam destruksi kering ini dibutuhkan suhu pemanasan antara 400-800oC, tetapi suhu ini sangat tergantung pada jenis sampel yang akan dianalisis. Untuk menentukan suhu pengabuan dengan sistem ini terlebih dahulu ditinjau jenis logam yang akan dianalisis. Bila oksida-oksida logam yang terbentuk bersifat kurang stabil, maka perlakuan ini tidak memberikan hasil yang baik. Untuk logam Fe, Cu, dan Zn oksidanya yang terbentuk adalah Fe2O3, FeO, CuO, dan ZnO. Semua oksida logam ini cukup stabil pada suhu pengabuan yang digunakan. Oksida-oksida ini kemudian dilarutkan ke dalam pelarut asam encer baik tunggal maupun campuran, setelah itu dianalisis menurut metode yang digunakan.
Sampel yang telah didestruksi, baik destruksi basah maupun kering dianalisis kandungan logamnya. Metode yang digunakan untuk penentuan logam-logam tersebut yaitu metode SSA (Raimon, 1993). Metode ini digunakan secara luas untuk penentuan kadar unsur logam dalam jumlah kecil atau trace level ( Kealey, D.  dan Haines, P.J. 2002).
Faktor yang harus diperhatikan dalam hal menggunakan metode destruksi terhadap sampel antara lain: sifat matriks dan konstituen yang terkandung di dalamnya, jenis logam yang akan dianalisis dan metode yang akan digunakan untuk penentuan kadarnya (Raimon, 1993).
Menurut Sumardi (1981), metode destruksi basah lebih baik daripada cara kering karena tidak banyak bahan yang hilang dengan suhu pengabuan yang sangat tinggi. Destruksi dengan cara basah biasanya dilakukan untuk memperbaiki cara kering yang biasanya memerlukan waktu yang lama. Sifat dan karakteristik asam pendestruksi yang sering digunakan antara lain:
1)      Asam sulfat pekat sering ditambahkan ke dalam sampel untuk mempercepat terjadinya oksidasi. Asam sulfat pekat merupakan bahan pengoksidasi yang kuat. Meskipun demikian waktu yang diperlukan untuk mendestruksi masih cukup lama.
2)  Campuran asam sulfat pekat dengan kalium sulfat pekat dapat dipergunakan untuk mempercepat dekomposisi sampel. Kalium sulfat pekat akan menaikkan titik didih asam sulfat pekat sehingga dapat mempertinggi suhu destruksi sehingga proses destruksi lebih cepat.
3)  Campuran asam sulfat pekat dan asam nitrat pekat banyak digunakan untuk mempercepat proses destruksi. Kedua asam ini merupakan oksidator yang kuat. Dengan penambahan oksidator ini akan menurunkan suhu destruksi sampel yaitu pada suhu 350 0C, dengan demikian komponen yang dapat menguap atau terdekomposisi pada suhu tinggi dapat dipertahankan dalam abu yang berarti penentuan kadar abu lebih baik.
4)   Asam perklorat pekat dapat digunakan untuk bahan yang sulit mengalami oksidasi, karena perklorat pekat merupakan oksidator yang sangat kuat. Kelemahan dari perklorat pekat adalah sifat mudah meledak (explosive) sehingga cukup berbahaya, dalam penggunaan harus sangat hati-hati.
5)     Aqua regia yaitu campuran asam klorida pekat dan asam nitrat pekat dengan perbandingan volume 3:1 mampu melarutkan logam-logam mulia seperti emas dan platina yang tidak larut dalam HCl pekat dan HNO3 pekat. Reaksi yang terjadi jika 3 volume HCl pekat dicampur dengan 1 volume HNO3 pekat:
3 HCl(aq) + HNO3(aq)                  Cl2(g) + NOCl(g) + 2H2O(l)
Gas klor (Cl2) dan gas nitrosil klorida (NOCl) inilah yang mengubah logam menjadi senyawa logam klorida dan selanjutnya diubah menjadi kompleks anion yang stabil yang selanjutnya bereaksi lebih lanjut dengan Cl-.

Kromatografi lapis tipis


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya yang menggunakan. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya.
KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (Gritter et al, 1991).
KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi dan isolasi senyawa murni skala kecil. Pelarut yang dipilih untuk pengembang disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapisan tipis seperti silika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi – pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat. Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0.
Pelaksanaan KLT
1.      Fase Diam
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap  berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya.
Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah adsorpsi dan partisi (Gandjar & Rohman, 2007).
2.      Fase Gerak
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :
1.      Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif.
2.      Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3.      Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzene akan meningkatkan harga Rf secara signifikan (Gandjar & Rohman, 2007).
Tabel 2.1.   Beberapa Sistem Pemisahan dengan KLT dari Bahan Alam (Gibbons, 2006)
Eluen
Fase Diam
Keterangan
Heksan : Etil asetat
Silika Gel
Sistem umum yang digunakan
Petrol : Dietileter
Silika Gel
Sistem umum yang digunakan untuk senyawa nonpolar seperti terpen dan asam lemak
Petrol : Kloroform
Silika Gel
Berguna untuk pemisahan derivat asam sinamat dan kumarin
Toluen : Etil asetat : Asam asetat (TEA)
Silika Gel
Komposisi 80:18:2 v/v atau 60:38:2 v/v baik untuk pemisahan metabolit asam
Kloroform : Aseton
Silika Gel
Sistem umum untuk produk dengan polaritas sedang
n-Butanol : Asam Asetat : Air
Silika Gel
Sistem polar untuk flavonoid dan glikosida
Metanol : Air
C18
Dimulai dengan metanol 100% dilanjutkan dengan penambahan konsentrasi air
Asetonitril : Air
C18
Sistem umum Reverse phase
Metanol : Air
Selulosa
Memisahkan senyawa dengan kepolaran tinggi seperti gula dan glikosida

3.      Penotolan Sampel
Untuk memperoleh roprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 μl. Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10 μl, maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan (Gandjar & Rohman, 2007).
4.      Pengembangan 
Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan sampel dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Tepi bagian bawah lempeng tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus dibawah lempeng yang telah berisi totolan sampel.
Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase gerak sedikit mungkin, akan tetapi harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan kertas saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh (Gandjar & Rohman, 2007).

5.      Deteksi Bercak
Deteksi bercak pada KLT dapat dilakukan secara kimia dan fisika. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan cara pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet. Fluorosensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluorosensi, membuat bercak akan terlihat jelas (Gandjar & Rohman, 2007).
Deteksi senyawa dilakukan dengan menggunakan detektor UV di bawah sinar UV 254 nm, indikator pada plat KLT akan memancarkan warna hijau dan pada UV 366 nm akan memancarkan warna ungu. Komponen yang menyerap cahaya pada 254 atau 366 nm akan tampak sebagai bercak gelap pada plat yang bercahaya (Gibbons, 2006). Metode deteksi lain adalah dengan menggunakan pereaksi semprot. Pereaksi semprot yang umum digunakan dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Beberapa Jenis Pereaksi Semprot untuk KLT (Gibbons, 2006)
Pereaksi semprot
Komposisi
Perlakuan
Keterangan
Vanilin asam sulfat
1 gram vanilin dalam asam sulfat pekat
Disemprot dan dipanaskan hingga muncul warna
Pereaksi umum yang digunakan. Terpen akan menghasilkan warna merah atau biru
Asam fosfomolibdat
Asam fosfomolibdat 5% b/v dalam etanol
Disemprot dan dipanaskan hingga muncul warna
Untuk mendeteksi terpen dengan bercak biru berlatar kuning
Reagen Dragendorff
10 mL larutan KI 40% ditambahkan dengan 10 mL larutan 0,85 gram bismuth subnitrat dalam 10 mL asam asetat dan 50 mL air. Larutan tersebut diencerkan dalam 10 mL asam asetat dan 50 mL air
Jika reaksi tidak spontan maka diperlukan pemanasan
Deteksi alkaloid menghasilkan warna oranye pekat hingga merah